Okvianti Prihatin
2SA01
15610270
Kerukunan
Umat Beragama
Pengertian Kerukunan Umat Beragama
Yaitu hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan
kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan
pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat
beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh
yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas
keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun
Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi
pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical,
menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling
percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah. Sesuai dengan
tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten.
Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan
pemuka agama dan tokoh- tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan
dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai
bahan kebijakan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan; 1.
Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama 2. Tidak
memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu 3. Melaksanakan ibadah sesuai
agamanya, dan 4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun
peraturan Negara atau Pemerintah. Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan
dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan di lingkungan
masyarakat berbangsa dan bernegara.
Pengertian Kerukunan Umat Beragama Menurut Islam
Kerukunan umat beragama dalam islam yakni Ukhuwah Islamiah.
Ukhuah islamiah berasl dari kata dasar “Akhu” yang
berarti saudara, teman, sahabat, Kata “Ukhuwah”
sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak
persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan
Islaiyah berasal dari kata Islam yang dalam hal ini menjadi atau memberi sifat
Ukhuwah, sehingga jika dipadukan antara kata Ukhuwah dan Islamiyah akan berarti
persaudaraan islam atau pergaulan menurut islam. Dapat dikatakan bahwa
pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang-
orang islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lain
seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang mengatakan bahwa hubungan
persahabatan antara sesame islam dalam menjamin Ukhuwah Islamuah yang berarti
bahwa antara umat islam itu laksana satu tubuh, apabila sakit salah satu anggota
badan itu, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya. Dikatakan juga bahwa
umat muslim itu bagaikan sutu bangunan yang saling menunjang satu sama lain.
Pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah
solidaritas social. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru’ artinya diperintahkan oleh agama. Kata persatuan,
kesatuan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan
Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah dirangkaikan dengan kata Islamiyah, maka ia
akan menggambarkan satu bentuk dasar yakni Persaudaraan Islam merupakan potensi
yang obyektif. Ibadah seperti zakat, sedekah, dan lain-lain mempunyai hubungan
konseptual dengan cita ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah itu sendiri
bukanlah tujuan, Ukhuwah Islamiyah adalah kesatuan yang menjelmakan kerukunan
hidup umat dan bangs, juga untuk kemajuan agama, Negara, dan kemanusiaan. “Janganlah bermusuh- musuhan, maka Allah menjinakan antara
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” (QS. Ali Imran: 103) Artinya: “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai dan berselisih sesudah
dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang0orang yang
mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran 105).
Manfaat Kerukunan Umat Beragama
Umat Beragama
Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor
pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan negara Menteri Agama
Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat
kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam
kehidupan berbangsa. "Sebab jika agama dapat dikembangkan sebagai
faktor pemersatu maka ia akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan
suatu negara, " katanya dalam Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia
untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu. Pada pertemuan yang dihadiri tokoh-
tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu Maftuh
menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada dasarnya telah mengalami
banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun beberapa persoalan, baik
yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini masih sering
muncul. Menurut dia, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat
beragama tidak bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial
yang terus berkembang. "Karena itu upaya memelihara kerukunan harus
dilakukan secara komprehensif, terus- menerus, tidak boleh berhenti,"
katanya. Dalam hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat
memberikan kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan
bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah
sosial termasuk kemiskinan dan kebodohan. Ia juga mengutip perspektif pemikiran
Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah yang kini
harus digalakkan adalah misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya insani
bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. "Hal itu kemudian perlu
dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama," katanya
Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin
mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa menjadi
ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar.
"Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk
dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan
baik dan benar," katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan
secara baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan
yang selama ini mengganjal di masing- masing kelompok masyarakat. "Karena
mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena
tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya
jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka
yang mengarah pada terbentuknya penilaian negatif," katanya. Senada dengan
Ma'ruf , Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang, OFM. Cap
mengatakan dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara
untuk membangun persaudaraan antar- umat beragama. Menurut dia, tema dialog
antar-umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah theologis, ritus dan
cara peribadatan setiap agama melainkan lebih ke masalah- masalah kemanusiaan.
"Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan ke moralitas, etika dan
nilai spiritual," katanya. Ia juga menambahkan, supaya efektif dialog
antar-umat beragama mesti "sepi" dari latar belakang agama yang
eksklusif dan kehendak untuk mendominasi pihak lain. "Sebab untuk itu
butuh relasi harmonis tanpa apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan.
Yang harus dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak
untuk mendominasi dan eksklusif," katanya. Menurut Ketua Umum Majelis
Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo, agenda agama- agama ke depan
sebaiknya difokuskan untuk menjawab tiga persoalan besar yang selama ini
menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat beragama yakni rasa saling
percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa aman bagi masyarakat.
"Energi dan militansi agama seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga hal
mulia itu," demikian Budi S Tanuwibowo.
Dalam tahun-tahun belakangan ini semakin banyak didiskusikan
mengenai kerukunan hidup beragama. Diskusi-diskusi ini sangat penting,
bersamaan dengan berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan, yang
setidak-tidaknya telah menantang pemikiran teologi kerukunan hidup beragama itu
sendiri, khususnya untuk membangun masa depan hubungan antaragama yang lebih
baik--lebih terbuka, adil dan demokratis. Kita semua tahu, bahwa masalah
hubungan antaragama di Indonesia belakangan ini memang sangat kompleks. Banyak
kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut.
Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi, karena
adanya konflik- konflik di tingkat elite dan militer. Tulisan ini tidak akan
membahas latar-belakang ekonomi, sosial, dan politik dari kehidupan antaragama
di Indonesia belakangan ini--yang memang sudah banyak dianalisis-- tetapi
justru ingin kembali ke pertanyaan dasar: Adakah dasar teologis yang diperlukan
untuk suatu basis kerukunan hidup beragama? Pertanyaan ini penting, karena
selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis, karena menyangkut masalah
akidah, sehingga itu tidaklah perlu dibicarakan-- apalagi dalam hal antaragama.
Sehingga terkesan teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan menghasilkan
masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global dan
pascamodern dewasa ini lebih bersifat terbuka dan pluralistis. Eksklusif atau
Pluralis? Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai
eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain
sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai
sekarang, seperti termuat dalam tidak hanya buku-buku polemis, tetapi juga buku
ilmiah. Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer misalnya masih menarik
untuk diungkapkan di sini. Katanya "Other religions are false paths, that
mislead their followers" (Agama lain adalah jalan sesat, dan menyesatkan
pengikutnya). Ungkapan Ajith Fernando ini memang sangat keras dan langsung
tergambar segi keesklusivitasannya. Dan yang menjadikan kita kaget adalah Kitab
Suci ternyata dianggapnya membenarkan hal tersebut. Pandangan eksklusif seperti
itu memang bisa dilegitimasikan--atau tepatnya dicarikan legitimasinya-- lewat
Kitab Suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh, dalam
tradisi Katolik, sejak Konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa
pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam
agama-agama non-Kristiani. Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili
Vatikan II, merumuskan teologi inklusifnya yang begitu terbuka, kira-kira
dengan mengatakan. "Other religions are implicit forms of our own
religion" (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita).
Tulisan Karl Rahner mengenai ini dibahas dalam bab "Christianity and the
Non-Chrisitian Religions" dan "Observations on the Problem of the
'anonymous Christian'," dalam bukunya Theological Investigations, vol. 5
dan 14. Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif.
Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep "Ahl al- Kitab"
(Ahli Kitab) yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok
non-muslim, dan ini dibenarkan oleh Alquran sendiri, tetapi selalu saja ada
interpretation away-- yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan
sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat
yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif. Perspektif Baru Kembali
pada teologi eksklusif di atas, begitulah, kita baik kaum Muslim maupun umat
Kristen telah mewarisi begitu mendalam teologi eksklusif yang rumusan inti
ajarannya adalah--seperti ditulis oleh filsuf agama terkemuka Alvin
Plantiga--" the tenets of one religions are in fact true; any propositions
that are incompatible with these tenets are false" atau John Hick,
"The exclusivivits think that their description of God is the true
description and the others are mistaken insofar they differ from it."
Karena pandangan tersebut, maka mereka menganggap bahwa hanya ada satu jalan
keselamatan: yaitu agama mereka sendiri. Pandangan ini jelas mempunyai
kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!!! Oleh karena itulah diperlukan
suatu perspektif baru dalam melihat "Apa yang dipikirkan oleh suatu agama,
mengenai agama lain dibandingkan dengan agama sendiri" Perspektif ini akan
menentukan apakah seorang beragama itu menganut suatu paham keberagamaan yang
eksklusif, inklusif atau pluralis. Apakah ia seorang yang terbuka atau
otoriter? Menganut suatu teologi eksklusif dalam beragama bukan hal yang sulit.
Karena secara umum, sepanjang sejarah sebenarnya kebanyakan orang beragama
secara eksklusif. Kalau ukurannya adalah Konsili Vatikal II, maka baru sejak
1965 lah secara resmi ada usaha- usaha global untuk memulai perkembangan
teologi ke arah yang inklusif. Dan baru belakangan ini saja berkembang teologi
yang lebih pluralis--yang lebih merentangkan inklusivitas ke arah pluralis
dengan menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam agama-
agama--yang digali lewat kajian teologi agama-agama . Teologi pluralis melihat
agama- agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other
religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions
speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion
expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama
sebenarnya mengekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Di
sini jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam
eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain. Teologi
Agama-Agama Di antara perkembangan baru mengenai teologi pluralis ini, sekarang
berkembang suatu cabang ilmu yang disebut teologi agama- agama (theology of
religions). Kita perlu memperhatikan perkembangan baru ini, karena dalam
teologi ini termuat suatu pijakan modern dalam membangun kerukunan hidup
beragama: Suatu pijakan yang berangkat dari kesadaran pentingnya memperhatikan
pluralitas dari dalam teologi itu sendiri. Dewasa ini penerimaan atas
pluralisme tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah
bangsa yang majemuk dari segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka
kita sebenarnya berangkat dari kenyataan sosial yang terfragmentasi
(terpecah-pecah )-- yang karena itu diperlukan pluralisme sebagai cara untuk
menghindari kefanatikan, jadi fungsinya hanya sebagai a negative good. Padahal
kebutuhan sekarang bukan hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah paham
pluralisme itu dibangun karena begitulah faktanya mengenai Kebenaran Agama,
bukan hanya karena fakta sosialnya! Pluralisme adalah bagian dari-- seperti
sering dikatakan Prof Dr Nurcholish Madjid- -"pertalian sejati kebinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the
bonds of civility). Nah, persis sejalan dengan kebutuhan itu, teologi agama-
agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu masuk dalam
dialog antar- agama, yang didalamnya akan didalami bersama partner dialog,
"a new depths of understanding of God's saving ways" . Di sini
teologi agama-agama akan mempersiapkan komunitas beragama dalam kepemimpinan
teologis dalam memasuki dialog antaragama itu. Ini penting sebab sekarang
diyakini diktum: Those who know only their own religion, know mone. Those who
are not decisively committed to one faith, know no others. To be religious
today is to be interreligious! Jika diktum ini sudah diterima, akan lebih
mudahlah memasuki dialog antaragama dan selanjutnya segi teologisnya, yang dari
sini pemerkayaan iman akan sangat dimungkinkan. Usaha-usaha besar pencarian
"Etika Global" dari agama-agama yang populer sejak Sidang Parlemen
Agama-agama (1993), menurut saya akan jauh lebih mendasar jika berangkat dari
dialog teologis, yang meneguhkan sikap paralelisme itu--yang mengekspresikan
kesadaran "Satu Tuhan, dalam banyak jalan" . Saya ingin menutup
artikel ini dengan kutipan dari ajaran Sufi. Para sufi tidak saja menegaskan
kesatuan wahyu, tetapi juga menganggap diri mereka sendiri sebagai pelindung
Islam dan pelindung agama-agama lain. Pemimpin Sufi seperti Jalal al-Din Rumi,
misalnya melukiskan pandangan pluralisnya dengan menggunakan gambaran berikut.
"Meskipun ada bermacam- macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda
tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka'bah?. ..OLeh karena itu apabila
yang Anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat
tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda perimbangkan adalah
tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan. " Akhirnya dalam
spirit kesatuan inilah, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama- agama ini
harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial
bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya.
Referensi
www.scribd.com /.../ Makalah-
Kerukunan-Antar -Umat- Beragama - Tembolok - Mirip
dezhi-myblogger.blogspot.com/2011/05/pengertian-kerukunan-umat-beragama.html
bagus tulisannya,, aq bagikan ya..
BalasHapus