Selasa, 17 Januari 2012

Kerukunan Umat Beragama


Okvianti Prihatin
2SA01
15610270

Kerukunan Umat Beragama

Pengertian Kerukunan Umat Beragama
Yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah. Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah. Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh- tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan; 1. Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama 2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu 3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan 4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah. Dengan demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.


Pengertian Kerukunan Umat Beragama Menurut Islam
Kerukunan umat beragama dalam islam yakni Ukhuwah Islamiah. Ukhuah islamiah berasl dari kata dasar Akhu yang berarti saudara, teman, sahabat, Kata Ukhuwah sebagai kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan Islaiyah berasal dari kata Islam yang dalam hal ini menjadi atau memberi sifat Ukhuwah, sehingga jika dipadukan antara kata Ukhuwah dan Islamiyah akan berarti persaudaraan islam atau pergaulan menurut islam. Dapat dikatakan bahwa pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang- orang islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lain seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang mengatakan bahwa hubungan persahabatan antara sesame islam dalam menjamin Ukhuwah Islamuah yang berarti bahwa antara umat islam itu laksana satu tubuh, apabila sakit salah satu anggota badan itu, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya. Dikatakan juga bahwa umat muslim itu bagaikan sutu bangunan yang saling menunjang satu sama lain. Pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah solidaritas social. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru artinya diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah dirangkaikan dengan kata Islamiyah, maka ia akan menggambarkan satu bentuk dasar yakni Persaudaraan Islam merupakan potensi yang obyektif. Ibadah seperti zakat, sedekah, dan lain-lain mempunyai hubungan konseptual dengan cita ukhuwah islamiyah. Ukhuwah islamiyah itu sendiri bukanlah tujuan, Ukhuwah Islamiyah adalah kesatuan yang menjelmakan kerukunan hidup umat dan bangs, juga untuk kemajuan agama, Negara, dan kemanusiaan. Janganlah bermusuh- musuhan, maka Allah menjinakan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara (QS. Ali Imran: 103) Artinya: Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai dan berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang0orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran 105).

Manfaat Kerukunan Umat Beragama
Umat Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan negara Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa. "Sebab jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara, " katanya dalam Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu. Pada pertemuan yang dihadiri tokoh- tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada dasarnya telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun beberapa persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini masih sering muncul. Menurut dia, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. "Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus- menerus, tidak boleh berhenti," katanya. Dalam hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat memberikan kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial termasuk kemiskinan dan kebodohan. Ia juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. "Hal itu kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama," katanya Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar. "Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar," katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang selama ini mengganjal di masing- masing kelompok masyarakat. "Karena mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang mengarah pada terbentuknya penilaian negatif," katanya. Senada dengan Ma'ruf , Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang, OFM. Cap mengatakan dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara untuk membangun persaudaraan antar- umat beragama. Menurut dia, tema dialog antar-umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah theologis, ritus dan cara peribadatan setiap agama melainkan lebih ke masalah- masalah kemanusiaan. "Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan ke moralitas, etika dan nilai spiritual," katanya. Ia juga menambahkan, supaya efektif dialog antar-umat beragama mesti "sepi" dari latar belakang agama yang eksklusif dan kehendak untuk mendominasi pihak lain. "Sebab untuk itu butuh relasi harmonis tanpa apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan. Yang harus dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak untuk mendominasi dan eksklusif," katanya. Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo, agenda agama- agama ke depan sebaiknya difokuskan untuk menjawab tiga persoalan besar yang selama ini menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat beragama yakni rasa saling percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa aman bagi masyarakat. "Energi dan militansi agama seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga hal mulia itu," demikian Budi S Tanuwibowo.
Dalam tahun-tahun belakangan ini semakin banyak didiskusikan mengenai kerukunan hidup beragama. Diskusi-diskusi ini sangat penting, bersamaan dengan berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan, yang setidak-tidaknya telah menantang pemikiran teologi kerukunan hidup beragama itu sendiri, khususnya untuk membangun masa depan hubungan antaragama yang lebih baik--lebih terbuka, adil dan demokratis. Kita semua tahu, bahwa masalah hubungan antaragama di Indonesia belakangan ini memang sangat kompleks. Banyak kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut. Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi, karena adanya konflik- konflik di tingkat elite dan militer. Tulisan ini tidak akan membahas latar-belakang ekonomi, sosial, dan politik dari kehidupan antaragama di Indonesia belakangan ini--yang memang sudah banyak dianalisis-- tetapi justru ingin kembali ke pertanyaan dasar: Adakah dasar teologis yang diperlukan untuk suatu basis kerukunan hidup beragama? Pertanyaan ini penting, karena selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis, karena menyangkut masalah akidah, sehingga itu tidaklah perlu dibicarakan-- apalagi dalam hal antaragama. Sehingga terkesan teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan menghasilkan masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global dan pascamodern dewasa ini lebih bersifat terbuka dan pluralistis. Eksklusif atau Pluralis? Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam tidak hanya buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah. Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer misalnya masih menarik untuk diungkapkan di sini. Katanya "Other religions are false paths, that mislead their followers" (Agama lain adalah jalan sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan Ajith Fernando ini memang sangat keras dan langsung tergambar segi keesklusivitasannya. Dan yang menjadikan kita kaget adalah Kitab Suci ternyata dianggapnya membenarkan hal tersebut. Pandangan eksklusif seperti itu memang bisa dilegitimasikan--atau tepatnya dicarikan legitimasinya-- lewat Kitab Suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh, dalam tradisi Katolik, sejak Konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-Kristiani. Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifnya yang begitu terbuka, kira-kira dengan mengatakan. "Other religions are implicit forms of our own religion" (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Tulisan Karl Rahner mengenai ini dibahas dalam bab "Christianity and the Non-Chrisitian Religions" dan "Observations on the Problem of the 'anonymous Christian'," dalam bukunya Theological Investigations, vol. 5 dan 14. Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep "Ahl al- Kitab" (Ahli Kitab) yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-muslim, dan ini dibenarkan oleh Alquran sendiri, tetapi selalu saja ada interpretation away-- yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif. Perspektif Baru Kembali pada teologi eksklusif di atas, begitulah, kita baik kaum Muslim maupun umat Kristen telah mewarisi begitu mendalam teologi eksklusif yang rumusan inti ajarannya adalah--seperti ditulis oleh filsuf agama terkemuka Alvin Plantiga--" the tenets of one religions are in fact true; any propositions that are incompatible with these tenets are false" atau John Hick, "The exclusivivits think that their description of God is the true description and the others are mistaken insofar they differ from it." Karena pandangan tersebut, maka mereka menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!!! Oleh karena itulah diperlukan suatu perspektif baru dalam melihat "Apa yang dipikirkan oleh suatu agama, mengenai agama lain dibandingkan dengan agama sendiri" Perspektif ini akan menentukan apakah seorang beragama itu menganut suatu paham keberagamaan yang eksklusif, inklusif atau pluralis. Apakah ia seorang yang terbuka atau otoriter? Menganut suatu teologi eksklusif dalam beragama bukan hal yang sulit. Karena secara umum, sepanjang sejarah sebenarnya kebanyakan orang beragama secara eksklusif. Kalau ukurannya adalah Konsili Vatikal II, maka baru sejak 1965 lah secara resmi ada usaha- usaha global untuk memulai perkembangan teologi ke arah yang inklusif. Dan baru belakangan ini saja berkembang teologi yang lebih pluralis--yang lebih merentangkan inklusivitas ke arah pluralis dengan menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam agama- agama--yang digali lewat kajian teologi agama-agama . Teologi pluralis melihat agama- agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Di sini jelas teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain. Teologi Agama-Agama Di antara perkembangan baru mengenai teologi pluralis ini, sekarang berkembang suatu cabang ilmu yang disebut teologi agama- agama (theology of religions). Kita perlu memperhatikan perkembangan baru ini, karena dalam teologi ini termuat suatu pijakan modern dalam membangun kerukunan hidup beragama: Suatu pijakan yang berangkat dari kesadaran pentingnya memperhatikan pluralitas dari dalam teologi itu sendiri. Dewasa ini penerimaan atas pluralisme tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah bangsa yang majemuk dari segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka kita sebenarnya berangkat dari kenyataan sosial yang terfragmentasi (terpecah-pecah )-- yang karena itu diperlukan pluralisme sebagai cara untuk menghindari kefanatikan, jadi fungsinya hanya sebagai a negative good. Padahal kebutuhan sekarang bukan hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah paham pluralisme itu dibangun karena begitulah faktanya mengenai Kebenaran Agama, bukan hanya karena fakta sosialnya! Pluralisme adalah bagian dari-- seperti sering dikatakan Prof Dr Nurcholish Madjid- -"pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Nah, persis sejalan dengan kebutuhan itu, teologi agama- agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu masuk dalam dialog antar- agama, yang didalamnya akan didalami bersama partner dialog, "a new depths of understanding of God's saving ways" . Di sini teologi agama-agama akan mempersiapkan komunitas beragama dalam kepemimpinan teologis dalam memasuki dialog antaragama itu. Ini penting sebab sekarang diyakini diktum: Those who know only their own religion, know mone. Those who are not decisively committed to one faith, know no others. To be religious today is to be interreligious! Jika diktum ini sudah diterima, akan lebih mudahlah memasuki dialog antaragama dan selanjutnya segi teologisnya, yang dari sini pemerkayaan iman akan sangat dimungkinkan. Usaha-usaha besar pencarian "Etika Global" dari agama-agama yang populer sejak Sidang Parlemen Agama-agama (1993), menurut saya akan jauh lebih mendasar jika berangkat dari dialog teologis, yang meneguhkan sikap paralelisme itu--yang mengekspresikan kesadaran "Satu Tuhan, dalam banyak jalan" . Saya ingin menutup artikel ini dengan kutipan dari ajaran Sufi. Para sufi tidak saja menegaskan kesatuan wahyu, tetapi juga menganggap diri mereka sendiri sebagai pelindung Islam dan pelindung agama-agama lain. Pemimpin Sufi seperti Jalal al-Din Rumi, misalnya melukiskan pandangan pluralisnya dengan menggunakan gambaran berikut. "Meskipun ada bermacam- macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka'bah?. ..OLeh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda perimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan. " Akhirnya dalam spirit kesatuan inilah, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama- agama ini harus dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya.
Referensi
www.scribd.com /.../ Makalah- Kerukunan-Antar -Umat- Beragama - Tembolok - Mirip
dezhi-myblogger.blogspot.com/2011/05/pengertian-kerukunan-umat-beragama.html

1 komentar: